Senin, 23 September 2013

Agroindustri Karet



I. PENDAHULUAN

Komoditi perkebunan mempunyai peranan yang penting dalam program pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan ini semakin terasa dengan menurunnya sumbangan minyak dangas (migas) terhadap devisa negara.Karet alam merupakan salah satukomoditi perkebunan yang penting bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi sosial, karena disamping sebagai sumber devisa negara tetapi juga sebagai sumber penghasilan bagi keluarga petani.

Karet alam berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) yang diusahakan oleh perkebunan besar (negara dan swasta) dan perkebunan rakyat. Perusahaan perkebunan khususnya perkebunan negara dan swasta selalu dihadapkan pada kenaikan biaya produksi. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan harga barang modal dan upah karyawan. Kecenderungan kenaikan biaya produksi ini memerlukan upaya peningkatan efisiensi penggunaan dana, baik dari jalur produksi maupun jalur pengolahan hasil panen dan pasca panen.

Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen utama karet alam dunia. Selain iklim dan lingkungan yang memenuhi syarat bagi pertumbuhan dan perkembangan, Indonesia juga mempunyai tenaga kerja yang relatif banyak. Areal yang luas dan tenaga kerja yang banyak tidak memberikan hasil yang optimum apabila tidak ditunjang dengan kemauan dan kemampuan penerapan teknologi.

Karet sebagai bahan baku industri memerlukan sistem jaminan mutu yang baik, biasanya penentuan mutu dilakukan berdasarkan uji produk akhir. Sistem ini mempunyai banyak kelemahan diantaranya adalah belum dapat menjamin hasil yang bebas kontaminasi dan konsisten. Memanfaatkan potensi dan mengatasi masalah dalam pengusahaan karet di Indonesia serta mengintip adanya kecenderungan meningkatnya konsumsi karet alam dunia di masa-masa mendatang dan adanya gejala membaiknya harga karet, merupakan peluang dan tantangan Indonesia dalam meningkatkan produksi karet alamnya.

II. PEMBAHASAN

Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari­-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia. Kebutuhan karet sintetik relatif lebih mudah dipenuhi karena sumber bahan baku relatif tersedia walaupun harganya mahal, akan tetapi karet alam dikonsumsi sebagai bahan baku industri tetapi diproduksi sebagai komoditi perkebunan.

Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis tumbuhan. Sumber utama produksi karet dalam perdagangan internasional adalah para atau Hevea brasiliensis (suku Euphorbiaceae). Beberapa tumbuhan lain juga menghasilkan getah lateks dengan sifat yang sedikit berbeda dari karet, seperti anggota suku ara-araan(misalnya beringin), sawo-sawoan (misalnya getah perca dan sawo manila), Euphorbiaceae lainnya, serta dandelion. Pada masa Perang Dunia II, sumber-sumber ini dipakai untuk mengisi kekosongan pasokan karet dari para. Sekarang, getah perca dipakai dalam kedokteran (guttapercha), sedangkan lateks sawo manila biasa dipakai untuk permen karet (chicle). Karet industri sekarang dapat diproduksi secara sintetis dan menjadi saingan dalam industri perkaretan.

Karet adalah polimer dari satuan isoprena (politerpena) yang tersusun dari 5000 hingga 10.000 satuan dalam rantai tanpa cabang. Diduga kuat, tiga ikatan pertama bersifat trans dan selanjutnya cis. Senyawa ini terkandung pada lateks pohon penghasilnya. Pada suhu normal, karet tidak berbentuk (amorf). Pada suhu rendah ia akan mengkristal. Dengan meningkatnya suhu, karet akan mengembang, searah dengan sumbu panjangnya. Penurunan suhu akan mengembalikan keadaan mengembang ini. Inilah alasan mengapa karet bersifat elastik.



Lateks dibentuk pada permukaan benda-benda kecil (disebut “badan karet”) berbentuk bulat berukuran 5 nm sampai 5 μm yang banyak terdapat pada sitosolsel-sel pembuluh lateks (modifikasi dari floem). Sebagai substratnya adalah isopentenil difosfat (IPD) yang dihasilkan sel-sel pembuluh lateks. Dengan bantuan katalisis dari prenil-transferase, pemanjangan terjadi pada permukaan badan karet yang membawa suatu polipeptida berukuran 14kDa yang disebut “rubber elongation factor” (REF). Sebagai bahan pembuatan starter, diperlukan pula 3,3—dimetilalil difosfat sebagai substrat kedua. Suatu enzim isomerase diperlukan untuk tugas ini.

A. Jenis-Jenis Karet Alam

Karet merupakan polimer yang bersifat elastis, sehingga dinamakan pula sebagai elastomer. Saat ini karet tergolong atas karet sintetik dan karet alam. Karet sintetik dibuat secara polimerisasi fraksi-fraksi minyak bumi. Contoh karet sintetik yang kini banyak beredar adalah SBR (Strirene Butadiene Rubber), NBR (Nitrile Butadiene Rubber), karet silikon, Urethane, dan karet EPDM (Ethilene Propilene Di Monomer).

Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Braziliensis. Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan (fatigue).

Berdasarkan keunggulan tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban. Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet sit asap, karet krep dan crumb rubber

B. Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional

Karet memiliki berbagai peranan penting bagi Indonesia, antara lain :

1. Sumber pendapatan dan lapangan kerja penduduk

2. Sumber devisa negara dari ekspor non-migas

3. Mendorong tumbuhnya agro-industri di bidang perkebunan

4. Sumber daya hayati dan pelestarian lingkungan.

Luas areal tanaman karet pada tahun 2006 sekitar 3,31 juta hektar, dengan produksi 2,64 juta ton atau 27,3% produksi karet alam dunia (9.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2007). Pada tahun 2005, karet mampu menghasilkan devisa hingga US $ 2,58 milyar, naik menjadi US $ 3,77 milyar pad tahun 2006, menempatkan karet sebagai komoditas penghasil devisa terbesar diantara komoditas perkebunan. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 2,29 juta ton pada tahun 2006. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2005 mencapai US$ 2,58 milyar, dan meningkat tajam menjadi US $ 4,36 milyar pada tahun 2006 seiring dengan melonjaknya harga karet dari 1,2 USD/kg hingga sekitar 2 USD/kg pada tahun 2006 (Depperind, 2007).

C. Prospek Perdagangan Karet Alam

Hasil kajian para pakar memperlihatkan bahwa prospek perdagangan karet alam dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan konsumsi karet menurut ramalan ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris Jenderal International Rubber Study Group, Dr. Hidde P. Smit, mennunjukkan bahwa konsumsi karet alam akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 8,5 juta ton di tahun 2005, naik menjadi 9,23 pada tahun 2006, dan diprediksi menjadi 11,9 juta ton pada tahun 2020.

Sementara itu produksi karet alam dunia sebesar 8,5 juta ton pada tahun 2005, naik menjadi 9,18 juta ton pada tahun 2006, diprediksi menjadi 11,4 juta ton di tahun 2020. Harga karet alam di pasar dunia juga diprediksikan tetap bertahan pada level di atas US $ 1 per kg, bahkan pada tahun 2013 diperkirakan bisa menembus US $ 2,4 per kg dan bahkan level harga tersebut telah dicapai pada tahun 2006 ini. Pada tahun 2020 diperkirakan harga karet alam di pasaran dunia tetap bertahan pada angka US $ 1,9 per kg.


D. Kondisi Industri Primer Karet Alam

Selama lebih dari 35 tahun (1970-2006), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 4,8% per tahun, namun pertumbuhan yang nyata terutama terjadi pada areal karet rakyat, sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta sangat rendah, dibawah 1% pertahun. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar (± 91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan sisanya (± 9 %) dibangun melalui proyek-proyek PIR, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, dan Swadaya Berbantuan.

Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet nasional adalah rendahnya produktivitas karet rakyat (600-800 kg/ha/th), antara lain karena sebagian besar tanaman masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total areal). Pada saat ini sekitar 400 ribu ha areal karet berada dalam kondisi tua dan rusak dan sekitar 2-3% dari areal tanaman menghasilkan (TM) yang ada setiap tahun akan memerlukan peremajaan.

Sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk RSS dan lateks pekat. Kapasitas pabrik pengolahan crumb rubber pada saat ini sesungguhnya sudah melebihi dari kapasitas penyediaan bokar dari perkebunan rakyat, namun pada lima tahun mendatang diperlukan investasi baik untuk merehabilitasi pabrik yang ada maupun untuk membangun pabrik pengolahan baru untuk menampung pertumbuhan pasokan bahan baku yang diperhitungkan akan meningkat seiring dengan gencarnya upaya-upaya peremajaan dan perluasan areal kebun karet yang baru.

Prospek bisnis pengolahan crumb rubber ke depan diperkirakan tetap menarik, karena marjin keuntungan yang diperoleh pabrik relatif pasti. Marjin pemasaran, antara tahun 2000-2006 berkisar antara 3,7%-32,5% dan marjin keuntungan pabrik pengolahan antara 2-4% dari harga FOB, tergantung pada tingkat harga yang berlaku. Tingkat harga FOB itu sendiri sangat dipengaruhi oleh harga dunia yang mencerminkan permintaan dan penawaran karet alam, dan harga beli pabrik dipengaruhi kontrak pabrik dengan pembeli/buyer (biasanya pabrik ban) yang harus dipenuhi. Pada umumnya marjin yang diterima pabrik akan semakin besar jika harga meningkat.

E. Perkembangan Industri Karet

Pada awalnya sebagian besar karet alam Indonesia diperdagangkan dalam bentuk karet lembaran yakni karet sit asap (RSS = ribbed smoked sheet), Namun sejak diperkenalkan teknologi karet remah (crumb rubber) pada tahun 1968, produksi karet sit secara dramastis menurun, beralih ke karet remah, tidak kurang dari 90% produksi karet alam nasional setiap tahunnya merupakan karet remah.

Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor, dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan bakunya (bahan olah karet), menyebabkan perkembangan teknologi karet remah saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun 1969 terdapat 65 pabrik, kini sekitar 115 pabrik karet remah yang aktif beroperasi di Indonesia.

Tuntutan permintaan yang tinggi dari sektor transportasi terhadap karet alam sukar dipenuhi oleh karet lembaran, karena karet jenis ini memerlukan waktu pengolahan yang cukup lama yakni 7-14 hari. Dengan teknologi karet remah, bahan olah karet secara cepat, kurang dari 1 hari dapat diolah menjadi karet mentah yang siap untuk dijual. Selain itu, mutu karet remah dinilai berdasarkan hasil analisis fisiko-kimia, sehingga dianggap lebih “fair ” dibandingkan mutu karet lembaran yang dinilai hanya berdasarkan pengamatan visual dan bersifat subyektif.

Pada saat karet lembaran masih mendominasi produksi karet alam, petani berperan sebagai penghasil lateks, dan banyak juga yang sekaligus sebagai pengolahnya untuk dijadikan karet sit. Namun sejak penerapan teknologi karet remah, petani umumnya hanya berperan sebagai penyedia bahan olah berupa lump dan slab. Lump merupakan bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang digumpalkan menjadi berbentuk mangkok berdiameter sekitar 10-15 cm, sedangkan slab berbentuk balok tipis hingga berukuran sekitar 35cmx50cm, tebal 20 cm.

Bahan olah karet dari petani dijual ke prosesor akhir yakni pabrik karet remah untuk diolah menjadi karet remah jenis SIR (Standard Indonesian Rubber) 10, atau SIR 20. Pengolahan melibatkan serangkaian proses mulai dari pengecilan ukuran, pencucian, homogenisasi, pengeringan dan pengemasan.

Penurunan harga karet alam dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan Jepang, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif pada triwulan ke-2 di kawasan Uni Eropa. Akibat lemahnya permintaan karet dari negara-negara tersebut, maka pasokan karet alam di pasar berjangka menjadi berlebihan dan membuat harga karet terus mengalami penurunan.

Hal ini mengakibatkan tiga negara produsen karet alam dunia yang tergabung dalam kerja sama International Tripartite Rubber Council (ITRC), yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand telah melakukan pertemuan di Bangkok, Thailand, beberapa waktu lalu untuk membahas upaya pengembalian harga karet alam di pasar internasional yang dikhawatirkan akan terus menurun, karena melihat indikasi dari penurunan harga sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir.

F. Pengendalian Produksi

SMS merupakan pengendalian produksi karet di hulu atau di tingkat perkebunan untuk jangka panjang melalui peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi di dalam negeri dan tidak membuka lahan perkebunan baru. Sementara, AETS adalah mekanisme pengetatan pengurangan pasokan karet alam di pasar dunia pada saat terjadi kelebihan pasokan, sementara permintaan sedikit.

Dengan menyepakati pelaksanaan AETS dan SMS secara bersama, Indonesia, Malaysia dan Thailand berharap harga karet alam akan membaik. Ketiga negara tersebut juga sepakat untuk mendukung upaya-upaya pengendalian harga agar komoditas karet mampu memberikan imbalan yang wajar bagi para petani. “Langkah ini diharapkan akan menyeimbangkan kembali suplai dan permintaan dunia akan karet alam yang dihasilkan ketiga negara, sehingga petani karet mendapatkan remunerasi yang lebih seimbang antara biaya produksi dan harga jual,” jelas Gita melalui keterangan tertulis yang diterima Neraca, kemarin.

Implementasi dari AETS dan SMS ini rencananya akan dimonitor secara penuh oleh ITRC Monitoring and Surveillance Committee. Sekilas Mengenai Skema Stabilisasi Harga Karet oleh ITRC International Tripartite Rubber Council (ITRC) merupakan kerja sama tiga negara produsen utama karet alam dunia, yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand, dalam menindaklanjuti Deklarasi Bali yang disepakati pada 12 Desember 2001.

G. Kendala Industry Karet
Salah satu kendala peningkatan produksi karet di Indonesia adalah banyaknya tanaman karet yang kondisinya sudah tua atau rusak (berusia di atas 20 tahun). Selain itu, tingkat produktivitas tanaman masih rendah, karena sebagian besar berasal dari benih sapuan, bukan klon unggul. Terutama di perkebunan rakyat, penggunaan benih klon unggul rata-rata baru mencapai 40%.

Sejalan dengan program revitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah, strategi peningkatan produksi karet dilakukan melalui revitalisasi perkebunan yang mencakup perluasan areal, peremajaan dan rehabilitasi tanaman. Program ini telah berjalan sejak tahun 2006, dengan sasaran areal tanaman karet hingga tahun 2010 seluas 213.000 ha yang merupakan usulan dari 11 provinsi. Apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui peremajaan, diharapkan produksi karet akan meningkat sekitar 20 – 30%.

Sedikit berbeda dengan catatan Ditjen Perkebunan, menurut Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), bahwa pada tahun 2008 produksi karet alam Indonesia mencapai sekitar 2.636.000 ton. Namun, baik data Ditjen Perkebunan maupun Gapkindo, keduanya telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen karet peringkat kedua di dunia setelah Thailand. Indonesia memberikan kontribusi sebesar 28% terhadap produksi karet alam dunia.

H. Sistem Tataniaga Bahan Olah Karet

Sistem tataniaga karet rakyat memperlihatkan struktur yang sangat kompleks dan mengarah pada bentuk pasar oligopsonistik. Pada sentra-sentra karet rakyat pola swadaya murni, sering ditemukan sejumlah petani karet hanya berhadapan dengan satu orang pedagang karet. Pada kondisi demikian petani karet benar-benar memiliki posisi sebagai price taker. Negosiasi harga tidak pernah terjadi, karena petani tidak memiliki pilihan yang lain.

Pada kawasan yang telah relatif terbuka, umumnya pada sentra produksi karet rakyat pengembangan dan sekitarnya, telah terjadi pergeseran struktur dari bentuk oligopsonistik mengarah pada monopsonistik ke struktur oligopsonistik yang mengarah pada pasar yang lebih bersaing. Sekian petani berhadapan dengan sekian pedagang. Dengan kondisi ini, petani memiliki peluang melakukan negosiasi harga dengan beberapa pedagang. Keputusan petani untuk menjual hasil kebunnya akan lebih rasional dengan mempertimbangkan harga yang akan diperoleh. Namun demikian, pada kenyataan di lapangan, biasanya setiap petani tetap memiliki pedagang langganan tempat melakukan transaksi.

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani menjual karetnya kepada pedagang perantara, hanya sebagian kecil saja petani yang menjual bokarnya ke pasar atau langsung ke pabrik pengolahan. Fakta ini menunjukkan bahwa saluran tataniaga melalui pedagang perantara masih dianggap lebih ‘menguntungkan’ dibandingkan dengan saluran lainnya.


III. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas diperoleh beberapa kesimpulan yaitu:

1. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia

2. Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan (fatigue)

3. Karet memiliki berbagai peranan penting bagi Indonesia, antara lain : Sumber pendapatan dan lapangan kerja penduduk, Sumber devisa negara dari ekspor non-migas, Mendorong tumbuhnya agro-industri di bidang perkebunan, Sumber daya hayati dan pelestarian lingkungan.

4. Prospek perdagangan karet alam dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan konsumsi karet menurut ramalan ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris Jenderal International Rubber Study Group, Dr. Hidde P. Smit, mennunjukkan bahwa konsumsi karet alam akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan

5. karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet sit asap, karet krep dan crumb rubber

6. Permasalahan utama yang dihadapi perkebunan karet nasional adalah rendahnya produktivitas karet rakyat.


Kamis, 02 Mei 2013

Budidaya Anggrek Dalam Ruangan





PENDAHULUAN

Pemanfaatan tanaman bunga di Indonesia dan luar negeri menunjukkan perkembangan yang cukup baik, keadaan ini juga memberikan gambaran semakin meningkatnya pemahaman manusia mengenai nilai estetika baik untuk ruangan maupun tanaman. Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis, dimana tumbuhan bunga dapat hidup sepanjang tahun. Namun di sisi lain ada hal yang perlu diperhatikan secara serius, yaitu semakin langka dan mahalnya tumbuhan bunga karena kesalahan budidaya maupun diekspor keluar negri. Anggrek merupakan tanaman bunga yang dikenal sejak 55 tahun yang lalu karena keindahannya serta daya kesegaran bunga yang cukup lama. Anggrek dalam budidayanya telah mengalami perkembangan teknologi yang cukup pesat, bahkan anggrek telah menjadi bunga nasional di negara Thailand dan Singapura.


Anggrek ( Orehidaceae ), termasuk dalam keluarga tanaman bunga-bungaan. Di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 25000 spesies dan 800 jenis Anggrek. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 4000 spesies yang tersebar di hampir semua pulau. Jenis anggrek yang banyak tumbuh di Indonesia antara lain: Phalaenopsis, Paphiopedilum, Dendrobium, Coelogyne, Cymbidium, Bulbophyllium. Pada dasarnya dihabitat aslinya, hanya ada dua tempat tumbuh tanaman anggrek. Pertama tanaman anggrek yang hidup menempel pada tanaman lain dan tidak mengganggu tanaman yang ditempeli. Jenis ini disebut anggrek Epiphyt. Anggrek yang termasuk jenis ini: Cattleya, Dendrobium, Cymbidium, Phalaenopsis, Vanda, Oncidium. Kedua tanaman anggrek yang hidup ditanah. Biasanya hidup pada tanah berhumus yang subur. Jenis ini disebut anggrek Terrestris atau anggrek tanah. Keindahan anggrek memunculkan ide baru yang menjadikan anggrek dibudidayakan didalam ruangan atau indoor. Media tanaman yang mudah didapat dan bunga yang tahan lama membuat tanaman ini cocok diletakan di ruangan. Namun, pemeliharaan yang salah dan penyakit tanaman membuat tanaman ini membutuhkan pemahaman khusus agar anggrek dapat tumbuh optimal.

BUDIDAYA ANGGREK DALAM RUANGAN


Karakteristik Anggrek


Anggrek pada mulanya tumbuh menempel pada pohon besar di dalam hutan. Anggrek sangat menyukai lingkungan yang lembab dan sinar matahari yang tidak terlalu penuh. Anggrek tumbuh di hutan dataran tinggi sampai hutan dataran rendah. Berikut ini adalah klasifikasi botanis dari anggrek.

Divisi : Magnopliophyta
Sub divisi : Gymnospermae
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Orchidaceae
Nama umum/dagang : Anggrek
Morfologi Tanaman


Anggrek memiliki organ-organ yang sukulen atau berdaging tebal dengan kandungan air yang tinggi sering disebut juga tanaman lunak. Dengan demikian ia dapat hidup pada kondisi ketersediaan air yang rendah.. Anggrek menyukai cahaya matahari tetapi tidak langsung sehingga ia biasa ditemukan di alam sebagai tumbuhan lantai hutan atau di bawah naungan. Sebagai tanaman hias, anggrek tahan di dalam ruang.


Anngrek memiliki akar serabut dan tidak dalam. Pada anggrek jenis-jenis epifit yaitu mengembangkan akar sukulen dan melekat pada batang pohon tempatnya tumbuh,namun tidak merugikan pohon inang. Ada pula yang tumbuh geofitis, dengan istilah lain terrestria artinya tumbuh di tanah dengan akar-akar di dalam tanah. Ada pula yang bersifat saprofit, tumbuh pada media daun-daun kering dan kayu-kayu lapuk yang telah membusuk menjadi humus. Pada permukaan akar seringkali ditemukan jamur akar (mikoriza) yang bersimbiosis dengan anggrek.

Batang anggrek beruas-ruas. Anggrek yang hidup di tanah memiliki batang pendek dan cenderung menyerupai umbi. Sementara itu, anggrek epifit batangnya tumbuh baik, seringkali menebal dan terlindungi lapisan lilin untuk mencegah penguapan berlebihan. Pertumbuhan batang dapat bersifat memanjang (monopodial) atau melebar (simpodial), tergantung genusnya.

Daun anggrek biasanya oval memanjang dengan tulang daun memanjang pula, khas daun monokotil. Daun dapat pula menebal dan berfungsi sebagai penyimpan air. Bunga anggrek berbentuk khas dan menjadi penciri yang membedakannya dari anggota suku lain. Bunga-bunga anggrek tersusun majemuk, muncul dari tangkai bunga yang memanjang, muncul dari ketiak daun. Bunganya simetri bilateral. Helaian Kelopak bunga (sepal) biasanya berwarna mirip dengan mahkota bunga (sehingga disebut tepal). Satu helai mahkota bunga termodifikasi membentuk semacam "lidah" yang melindungi suatu struktur aksesoris yang membawa benang sari dan putik. Benang sari memiliki tangkai sangat pendek dengan dua kepala sari berbentuk cakram kecil (disebut "pollinia") dan terlindung oleh struktur kecil yang harus dibuka oleh serangga penyerbuk (atau manusia untuk vanili) dan membawa serbuk sari ke mulut putik. Tanpa bantuan organisme penyerbuk, tidak akan terjadi penyerbukan.

Buah anggrek berbentuk kapsul yang berwarna hijau dan jika masak mengering dan terbuka dari samping. Bijinya sangat kecil dan ringan, sehingga mudah terbawa angin. Biji anggrek tidak memiliki jaringan penyimpan cadangan makanan; bahkan embrionya belum mencapai kematangan sempurna. Perkecambahan baru terjadi jika biji jatuh pada medium yang sesuai dan melanjutkan perkembangannya hingga kemasakan. Tinggi tanaman anggrek berbeda beda, maksimum mencapai 2,5 meter namun pada umumnya 60 centimeter dan diameter batang 3-10 cm.

Menurut Jeanne Rose (2008) anggrek merupakan tumbuhan yang membutuhkan suhu sekitar 600-850 F. Kelembapan optimum 40-70 persen dan cahaya sinar matahari yang tidak langsung. Akar yang berdaging dan licin menggambarkan anggrek menempel teguh pada tanaman induk dengan mengeluarkan cairan seperti perekat.

Teknik Budidaya Anggrek
Anggrek hanya tumbuh pada lahan lembab dan lingkungan pada suhu yang sejuk. Umumnya tumbuhan ini ditemukan di dalam hutan, batang pohon yang mati, pepohonan tahunan, tanah yang penuh dengan humus dan lembab, akar tanaman paku-pakuan yang mati. Tempat-tempat yang tidak disukai yaitu pada kondisi rumput tinggi, lahan bersemak yang tinggi, dan lahan terbuka serta gurun pasir (Gregory 2008). Anggrek merupakan tumbuhan liar yang banyak dijumpai di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan dijumpai sebagai gulma di lahan budidaya. Sehingga untuk perolehan simplisia Anggrek hanya mengandalkan keberadaan Anggrek dari alam. Bahkan, menurut Balittro (2007) sampai saat ini Anggrek masih termasuk tanaman liar karena belum ada yang membudidayakannya. Selama ini perbanyakan tanaman dilakukan secara generatif dengan biji yang secara alami berkecambah di sekitar induknya atau terbawa angin dan berkecambah di tempat lain. Perbanyakan dengan setek tergolong sulit sehingga jarang dilakukan.


Biasanya budidaya Anggrek yang dilakukan yaitu dengan menggunakan biji yang ditanam pada tanah. Penanaman yang dilakukan tidak memperhatikan jarak tanam, sehingga Anggrek tumbuh secara bergerombol. Sedangkan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan yaitu berupa penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah (Harmantono 2003).


Percobaan budidaya Anggrek yang ditumpangsarikan dengan tanaman jagung pernah dilakukan pada tahun 2004. Kegiatan yang dilakukan dalam budidaya Anggrek tersebut adalah sebagai berikut:


1. Pengolahan lahan
Pengolahan lahan yang dilakukan yaitu melakukan penggemburan tanah dengan menggunakan cangkul. Bedengan dibuat dengan ukuran 2,5m x 3m. Tinggi bedengan 10 cm, dan jarak antar bedengan 70 cm. Dosis pupuk dasar Anggrek yaitu pupuk kandang 5 ton/ha, SP-36 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha. Pemupukan dilakukan 2 kali, yaitu 1/3 bagian saat tanam dan 2/3 bagian saat Anggrek berumur 4 MST. Dosis pupuk untuk jagung adalah kandang 5 kg/ha, SP-36 96 kg/ha, KCl 64kg/ha. Pemupukan dilakukan 2 kali, yaitu 1/3 bagian saat tanam dan 2/3 bagian saat berumur 4 MST.


2. Persiapan bahan tanam
Bibit Anggrek diperoleh dengan cara menyemaikan benihnya. Persemaian benih Anggrek dilakukan pada bak perkecambahan berukuran 30 cm x40 cm. Media yang digunakan adalah pasir dan arang sekam dengan perbandingan 1:1. Benih ditaburkan pada bak berisi media yang telah disiram ari terlebuh dahulu. Bak perkecambahan kemudian diletakkan di tempat terbuka. Kelembaban media dijaga dengan melakukan penyiraman secara rutin. Jika hujan, bak perkecambahan dipindah ke tempat yang terlindung dari hujan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kejenuhan air. Benih akan mulai berkecambah pada hari ke 3. Bibit Anggrek dipindah ke dalam polybag berukuran 5 cm x 5 cm pada 3 minggu setelah persemaian. Pemindahan dilakukan untuk memperluas ruang perkembangan dan pertumbuhan Anggrek. Media yang digunakan yaitu pupuk kandang dan polybag dengan ukuran 1:1. Polybag diletakkan pada tempat yang ternaungi.


3. Penanaman
Penanaman jagung dilakukan 1 bulan sebelum penanaman Anggrek. Jarak tanam jagung adalah 120 cm x 20 cm. Benih jagung ditanam di lahan dengan lubang tanam 2-3 cm. Penanaman Anggrek dilakukan 3 minggu setelah pemindahan ke polybag. Jarak tanam Anggrek adalah 30 cm x 40 cm.


4. Pemeliharaan
Pemeliharaan yang dilakukan yaitu dengan melakukan penyiraman, pumupukan, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman. Penyiraman dilakukan uttuk menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air untuk tanaman. Pemupukan susulan Anggrek dilakukan saat berumur 4 MST. Pemupukan susulan pada jagung dilakukan saat berumur 4 MST.


5. Pemanenan
Berdasarkan hasil penelitian Widiana (2004), pemanenan Anggrek baik dilakukan saat tanaman berumur 144 HST, karena kandungan fenol daun optimum pada umur tersebut. Sedangkan pemanenan terbaik pada batang dan akar dilakukan pada umur 150 HST. Jika akan memanen semua komponen, sebaiknya dilakukan saat 150 HST.


Seluruh bagian tanaman sidagori dapat dijadikan simplisia yaitu daun, batang dan akar. Pembuatan simp-lisia sidagori cukup mudah. Tanaman Anggrek dicabut dari tanah, lalu semua kotoran yang menempel pada tanaman dibersihkan dengan air mengalir. Setelah itu, dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari sampai tanaman benar-benar kering yang ditandai dengan daun, batang dan akar yang gampang dipatahkan. Setelah itu simplisia dimasukan ke dalam kantong plastik putih dan diikat lalu disimpan pada suhu ruang untuk digunakan sewaktu-waktu sebagai bahan obat.


Kandungan Anggrek dan Khasiatnya

Nama simplisia Anggrek adalah Sidae rhombifoliae herba (herba Anggrek), Sidae rhombifoliae radix (akar Anggrek). Sidagori memiliki sifat khas manis dan mendinginkan. Kandungan utama tanaman adalah tanin, flavonoid, saponin, alkaloid dan glikosida. Selain itu juga ditemui kalsium oksalat, fenol, steroid, efedrine dan asam amino. Kadar kimia zat tersebut ditemui pada kisaran yang berbeda-beda pada jaringan tanaman. Daun mengandung alkaloid, kalsium oksalat, tanin, saponin, fenol, asam amino, dan minyak asiri. Banyak mengandung zat phlegmatik yang digunakan sebagai peluruh dahak (ekspektoran) dan pelumas (lubricant). Batang mengandung kalsium oksalat dan tanin. Akar mengandung alkaloid, steroid, dan ephedrine.

Pengobatan tradisional biasanya dengan memanfaatkan seluruh bagian tanaman dengan kondisi segar atau dikeringkan. Selain sebagai obat tradisional asam urat dan rematik, Anggrek bermanfaat untuk flu, demam, malaria, radang amandel, radang usus, disentri, sakit perut, sakit kuning, kencing batu, bisul, radang kulit bernanah, dan eksim. Khusus untuk akarnya, digunakan untuk mengatasi influenza, asma, sakit gigi, sariawan, disentri, susah buang air besar/sembelit dan rematik.

Anggrek memiliki khasiat anti radang, anti inflamasi, diuretik dan analgesik. Penggunaan tanaman ini sebagai obat telah lama diyakini masyarakat. Pada awalnya tanaman ini sering digunakan untuk mengobati penyakit, diantaranya rematik, demam, disentri, cacing kremi, bisul dan ketombe. Namun akhir-akhir ini sidagori banyak dimanfaatkan oleh penderita penyakit asam urat. Pada prinsipnya semua orang mengandung asam urat dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kemam-puan metabolismenya. Kadar normal asam urat di dalam darah berkisar antara 2 - 7 mg% . Bila melebihi dari 7 mg%, maka kondisi tersebut akan dapat menimbulkan GOUT akibat kristalisasi dalam persendian. Gout adalah serangan asam urat yang parah sehingga penderita benar-benar merasa kesakitan. Kondisi ini terjadi akibat ginjal tidak akan sanggup mengaturrnya sehingga kelebihannya akan menumpuk pada jaringan dan sendi. GOUT yang disebabkan oleh asam urat memang muncul sesekali karena metabolisme purin yang tidak normal. Makin tinggi kadar purin dalam darah akan meningkatkan kadar asam urat.


Anggrek sudah banyak diaplikasikan masyarakat pada beberapa daerah seperti Bogor dan Jakarta, tanaman ini untuk mengobati asam urat yang terbukti dengan banyaknya informasi di media mengenai pengalaman keberhasilan menggunakan terhadap tanaman ini. Pemanfaatan tanaman ini sudah banyak dicoba oleh peneliti di Balittro dan kemanjurannya cukup terbukti. Sebenarnya penggunaannya sebagai obat tidak begitu sulit, hanya dengan mengkonsumsi seluruh bagian dari tanaman yaitu batang, daun dan akarnya. Untuk tujuan menyembuh-kan asam urat, akar tanaman lebih berperan penting karena kandungan zat berkhasiat tersebut lebih tinggi di akar. Disarankan menggunakan satu batang lengkap tanaman Anggrek termasuk akarnya (100 g/tanaman), dicuci bersih lalu direbus dengan menggunakan air sebanyak satu liter. Air rebusan ditunggu sam-pai menjadi setengahnya, kemudian disaring. Air rebusan Anggrek rasanya sedikit langu, perlu ditambahkan sesendok gula pasir atau gula merah ke dalam air seduhan sehingga rasanya menjadi agak manis. Teknik ini sebaiknya dilakukan selama tiga hari, sehingga proses penyembuhan asam urat lebih berhasil.


PENUTUP
Anggrek merupakan tumbuhan liar berbentuk perdu dengan percabangan yang tegak dan kuat. Tinggi tumbuhan tersebut antara 1-2 m. Tumbuhan ini banyak dijumpai sebagai gulma pada tanaman budidaya. Akan tetapi meskipun terkadang bersifat mengganggu tanaman, Anggrek memiliki khasiat obat yang sangat baik. Anggrek merupakan salah satu jenis tumbuhan berkhasiat obat dari famili Malvaceae yang memiliki banyak khasiat sebagai obat. Salah satu khasiat utamanya adalah untuk menyembuhkan penyakit asam urat yang sering diderita baik pria maupun wanita di atas usia tiga puluh tahun. Mengingat tanaman ini sangat potensial, disarankan aspek budidaya perlu diteliti karena sampai saat ini tanaman masih tergolong liar, begitu juga dengan penanganan pasca panen sehingga simplisia yang dihasilkan dapat dijamin mutunya.



DAFTAR PUSTAKA


Harmantono 2003. www.Republika.co.id


Holl, L., J. Doll, E. Holm, J. Pancho, and Hergberger.1997. World weeds. John Wiley and Sons, Inc. New York


Shaman Austrialis Enthobotanical 2002. Sida rhombifolia, common sida. www. Shaman-Austrialis.com


Steenis, V. C. G. G J. 1987. Flora. Diterjemahkan oleh Moeso Surjowinoto. PT. Pradya Pratama. Jakarta.


Syahid, Sitti Fatimah 2007. Anggrek. Warta Puslitbangbun Vol.13 No. 2


Widiana, Nike 2004. Pengaruh Berbagai Tingkat Populasi jagung terhadap Pertumbuhan dan Produksi Anggrek. IPB Press. Bogo